PENYERAPAN EMISI
CO2 DI PERAIRAN DENGAN MEMANFAATKAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) UNTUK MENCEGAH PENCEMARAN
LINGKUNGAN YANG BERASAL DARI LIMBAH BUDIDAYA.
oleh : ita apriani
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius
yang dihadapi dunia pada saat ini. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul
dalam studi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50
tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia sehingga temperatur dibumi telah
naik secara cepat. Sejak tahun 1960-an, penyebab utama naiknya temperatur bumi
adalah akibat efek rumah kaca yang menurut sebagian ahli disebabkan oleh
meningkatnya kandungan gas CO2 dan partikel polutan lainnya di
atmosfer bumi. Menurut IPCC (Intergovernmental On Panel Climate Change)
menyatakan jika laju emisi gas rumah kaca ini dibiarkan terus tanpa terdapat
tindakan untuk menguranginya, maka suhu global rata-rata akan meningkat dengan
laju 0.3oC setiap 10 tahun. Suhu global rata-rata tahun 1890 adalah 14.5oC
dan pada tahun 1980 naik menjadi 15,2oC. Sementara skenario dari
Peter Whetton (1993) dengan menggunakan model GCM untuk wilayah Indonesia
dihasilkan adanya peningkatan suhu sekitar 0.1oC – 0.5oC
pada tahun 2010 dan tahun 2070 sekitar 0.4oC – 3.0oC.
Salah satu indikator yang digunakan dalam
menganalisis isu pemanasan global adalah bertambahnya gas rumah kaca, terutama
gas CO2. Aktivitas
antropogenik, seperti pembakaran bahan bakar atau hutan mempengaruhi
keseimbangan siklus karbon, dan menyebabkan bertambahnya CO2 di
atmosfer. Di permukaan bumi, karbon disimpan dalam biomassa pada setiap organisme. Karbon dioksida terkumpul sebagai karbon ketika tanaman tumbuh, dan karbon dioksida terkumpul sebagai karbon dalam jaringan
tubuh tanaman. Ketika tanaman atau hewan mati, mereka akan terurai dimana
kombinasi antara karbon dengan oksigen akan membentuk karbon dioksida, dimana CO2 akan kembali ke
atmosfer.
Sejauh ini, berbagai upaya telah mulai dilakukan oleh
manusia untuk mengurangi dampak pemanasan global, seperti program penanaman
kembali, penghematan energi, penggunaan energi baru dan terbarukan, dan
pemanfaatan berbagai teknologi carbon capture and storage (CCS). Selain
tanaman teresterial, ternyata tanaman air pun memiliki peranan dalam teknologi
penyimpanan karbon, salah satunya yaitu eceng gondok (Eichhornia crassipes).
Selama ini eceng gondok banyak
dianggap sebagai gulma air dan sumber masalah di lingkungan perairan,
diantaranya : pendangkalan, meningkatkan laju penguapan air, menjadi sarang
nyamuk, dan sebagainya. Namun hal itu dapat diantisipasi dengan pengontrolan
rutin bahkan terdapat banyak sekali manfaat dari tanaman air
yang dapat menyimpan karbon dalam bentuk biomassanya sebagai kerajinan tangan
seperti tas, tikar, sandal, furniture dan
lain-lain. Karbon yang dihasilkan dari proses fotosintesis dalam akan tetap
tersimpan dalam bentuk kerajinan tangan, karbon tidak akan kembali lagi ke
atmosfer selama kerajinan tangan tersebut tidak terbakar.
1.2 Tujuan
Teknik ini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kandungan CO2 dari atmosfer.
<!--[if !supportLists]-->1.3 <!--[endif]-->Manfaat
Manfaatnya yaitu meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomis
tanaman air eceng gondok (Eichhornia
crassipes) yang dimanfaatkan untuk menjadi sebuah kerajinan
tangan sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
<!--[if !supportLists]-->1.3
<!--[endif]-->Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida merupakan produk dari
respirasi yang dilakukan oleh tanaman maupun hewan. Ketersediaan
karbondioksida adalah sumber utama untuk fotosintesis,
dan pada banyak cara menunjukkan hubungan keterbalikan dengan oksigen. Meskipun suhu merupakan
faktor utama dalam regulasi konsentrasi
oksigen dan karbondioksida, tetapi hal ini juga tergantung pada fotosintesis tanaman, respirasi dari
semua organisme, aerasi air, keberadaan gas – gas lainnya dan oksidasi kimia yang mungkin terjadi (Goldman
dan Horne, 1983). Ketersediaan
karbondioksida terlarut di air dapat bersumber dari air tanah, dekomposisi zat organik, respirasi
organisme air, senyawa kimia dalam air maupun dari udara namun dalam jumlah yang sangat sedikit
(Subarijanti, 1990). Tumbuhan
akuatik, misalnya alga, lebih menyukai karbondioksida sebagai sumber karbon dibandingkan dengan
bikarbonat dan karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat berperan sebagai sumber karbon. Namun di
dalam kloroplas bikarbonat
harus dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim karbonik
anhidrase (Boney,
1989 dalam Effendi,
2003).
Pada dasarnya keberadaan karbondioksida dalam air terdapat dalam empat bentuk, yaitu
bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3-), ion karbonat (CO32-) dan asam karbonat (H2CO3) dan proporsi
dari masing-masing bentuk tersebut berkaitan dengan nilai pH (Boney, 1989). Pada pH sebesar 8,3 maka CO2 dan
H2CO3
sudah tidak ditemukan lagi, hanya terdapat ion bikarbonat (HCO3-). Menurut Sudaryanti (1995), kadar bikarbonat mempunyai peranan yang
sangat penting yaitu sebagai system buffer yang merupakan campuran dari asam lemah dan garamnya, dan
system buffer ini berfungsi
untuk mencegah fluktuasi pH. Sebagian besar tanaman hanya menggunakan CO2 untuk fotosintesis yang di dapat dari udara atau penguraian HCO3-
dan CO32-, tetapi ada juga tanaman yang menggunakan HCO3- sebagai sumber karbondioksida bebas setelah
diubah dengan enzim karbonik anhidrase (Goldman dan Horne, 1983).
Laju pertumbuhan konsenterasi CO2 pertahun adalah
sekitar 0.47% sehingga menurut IPCC diperkirakan CO2 akan sampai 560 ppm pada
tahun 2100, 2 kali lipat dari nilai sebelum pra industri. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang
sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di
masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul
sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di
masa depan. Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Di
permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90 % biomassa yang terdapat dalam
hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah),
hewan, dan jasad renik (Arief, 2005). Biomassa ini merupakan tempat penyimpanan
karbon atau sering disebut carbon sink. Salah satu cara untuk mengurangi
dampak tersebut adalah dengan mengendalikan konsentrasi karbon melalui
pengembangan sink program, dimana karbon organik sebagai hasil fotosintesis
akan disimpan dalam biomassa eceng gondok (Eichhornia
crassipes (Mart) Solms). lalu dijadikan kerajinan tangan. Sehingga karbon
yang terserap sebagai biomassa eceng gondok akan tetap tersimpan dalam bentuk
kerajinan tangan selama kerajinan tangan tersebut tidak busuk ataupun terbakar.
Kemampuan eceng gondok untuk berfotosintesis, seperti tumbuhan darat lainnya,
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menyerap CO2. Diketahui
bahwa reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut:
6CO2
+ 6 H2O
à C6H12O6
+ 6O2
Berdasarkan persamaan
reaksi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah CO2 yang
dipakai oleh eceng gondok untuk fotosintesis adalah sebanding dengan jumlah
materi organik C6H12O6 yang dihasilkan. Alasan
utama pemilihan eceng gondok sebagai biota yang dapat dimanfaatkan secara
optimal untuk mengurangi emisi CO2 adalah karena waktu berganda (doubling time) tanaman ini di Indonesia berkisar antara 14 – 30
hari; artinya dalam kurun waktu yang singkat tersebut, biomassa tanaman ini
akan berganda dan selanjutnya dapat dipanen. Besarnya
kemampuan eceng gondok dalam melakukan penyerapan dikarenakan adanya vakuola
yang besar dalam struktur selnya (bowen, 1996) selain oleh besarnya vakuola,
kecepatan penyerapan ditentukan pula oleh transpirasi dari tumbuhan tersebut.
Eceng gndok mempunyai kecepatan transpirasi yang lebih besar apabila dibandingkan
dengan tumbuhan lain misalnya salvania sp. (keyambang). Kecepatan transpirasi
ini disebabkan karena eceng gondok mempunyai ukuran lubang stomata yang lebih
besar, yakni 2 kali lipat lebih besar dari kebanyakan tumbuhan lainnya
(dwidjoseputro 1994).
Keunggulan lain yang dimiliki eceng gondok adalah
kemempuannya mencegah pertumbuhan ganggang. Pertumbuhan ganggang dapat
mengurangi efisien daya tampung kolam air limbah, dan menyebabkan meningkatnya
konsentrasi padatan tersuspensi, kondisi demikian juga dapat diartikan bahwa pemanenan dalam
waktu yang singkat akan mempercepat pengikatan CO2 dari atmosfer.
Selain itu eceng gondok memiliki kelebihan lainnya yaitu untuk
memperbaiki kualitas air yang tercemar, khususnya terhadap limbah domestik dan
industri sebab eceng gondok memiliki kemampuan menyerap zat pencemar yang
tinggi daripada jenis tumbuhan lainnya.
Sementara itu banyaknya
limbah yang dihasilkan dari kegiatan pasar tradisional langsung di buang ke
perairan umum menyebabkan turunnya kualitas perairan tersebut. Dengan adanya
sistem budidaya dengan memanfaatkan lahan buangan limbah sebelum di buang ke
perairan umum akan memberikan banyak manfaat bagi lingkungan. Berdasarkan hasil
kajian terhadap perubahan kualitas air irigasi eceng gondok dapat menurunkan
kadar COD sebesar 21,59% yaitu dari 40,34 mg/l menjadi 31,63 mg/l serta TSS
sebesar 41,3% yaitu setelah melewati eceng gondok (waktu retensi) selama 9,46
jam. Keseluruhan parameter kualitas air yang diamati telah sesuai dengan baku mutu yang diacu berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 peruntukan perikanan kelas 3.
Pemanfaatan eceng gondok sebagai penyimpanan karbon
yaitu dilakukan dengan cara membudidayakan tanaman tersebut dengan memanfaatkan
lahan buangan limbah pasar sebelum di buang ke sungai lalu mengontrolnya secara
runtin. Langkah yang dilakukan untuk menjalankan kegiatan ini adalah sebagai
berikut:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]--> Persiapan wadah
Percobaan akan menggunakan lahan di pinggiran sungai
berukuran 2 x 5 m berbentuk memanjang searah dengan aliran sungai. Pada lahan
tersebut dilakukan penyekatan-penyekatan sehingga terbagi menjadi tiga bagian
ruangan, namun setiap bagian itu masih dalam satu aliran. Masing-masing ruangan
berisikan eceng gondok dengan kepadatan yang sama. Seperti gambar dibawah ini:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Persiapan
eceng gondok
Tanaman eceng gondok yang digunakan berasal dari sumber dan
umur yang sama. Sebelum digunakan
ditimbang berat basahnya. Setiap ruang
di masukkan tanaman eceng gondok dengan berat basah yang sama.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pengukuran
perubahan/ pertambahan biomassa eceng gondok.
Pengukuran dilakukan saat awal (yaitu saat dimasukkan ke
masing-masing ruang), lalu setiap minggu dilakukan pada masing-masing ruang
setelah pengukuran kualitas air (dalam bentuk berat basah).
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Pemanenan
dan pengukuran simpanan karbon eceng gondok
Pada akhir penelitian, seluruh eceng gondok ditimbang berat
keringnya. Penghitungan simpanan karbon
pada eceng gondok menggunakan persamaan sebagai berikut: Y = berat kering x % C organik eceng gondok (Sumolang 2010).
Dimana Y = besarnya nilai karbon (C) pada seluruh tanaman eceng gondok, berat
kering eceng gondok total di dalam seluruh bak percobaan dan % C organik
menurut Sumolang (2010) berkisar antara
26,51% - 42,03% (atau rata-rata 37,8%).
Berat kering berdasarkan contoh eceng gondok yang di oven pada suhu 70 oC
selama 24 jam. Nilai Y (kg carbon) dapat dikonversi menjadi nilai
kg CO2 dengan mengalikannya dengan 3,66 (angka ini diperoleh dari
berat molekul CO2 = 44 dibagi
berat atom C = 12).
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Pembuatan
kerajinan tangan, meubel, dan lain-lain.
Pembuatan kerajinan tangan dilakukan oleh masyarakat
setempat, dengan mengidentifikasi berbagai jenis produk berbahan eceng gondok,
berat masing-masing produk dan estimasi terhadap simpanan nilai karbon pada
setiap produk.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Penjualan
kerajinan tangan
Kerajinan yang terbuat dari eceng gondok
dijual ke pasar atau ke tempat-tempat pengumpul kerajinan, dengan demikian
manafaat dari kegiataqn ini adalah memberdayakan masyarakat dengan menambah
lapangan pekerjaan yang baru.
<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Masukan
terhadap kebijakan pemerintah
Hasil kegiatan akan disebarkan ke berbagai instansi
pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan,
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai salah satu masukkan strategi
untuk pemerintah RI dalam mereduksi nilai GRK sebesar 26% dalam 10 tahun
mendatang.
Murdiarso,
Daniel. 2004. Konvensi Perubahan Iklim. http://www.climatechange.menlh.go.id
diakses tanggal [11 Maret 2010]
Setiawan,
A dkk. 2008. Teknologi Penyerapan
Karbondioksida dengan Kultur fitoplankton pada Fotobioreaktor [jurnal]. Bandung : Disajikan pada
Pertemuan Ilmiah Tahunan V Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia.
Sumolang, diana. 2010. Peranan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dalam menyimpan karbon dan menigkatkan kualitas air
irigasi di lahan pertanian ranca bungur bogor [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan pesan dan kesan terbaikmu