REKAYASA
SET KROMOSOM (GINOGENESIS DAN POLIPLOIDISASI)
Ita Apriani
c14090019
ABSTRAK
Rekayasa
genetika dengan melakukan manipulasi set kromosom merupakan salah satu
kegiataan penting dalam pembenihan ikan. Ginogenesis dan poliploidisasi adalah
perlakuan yang dapat dilakukan dalam memanipulasi set kromosom. Ginogenesis
adalah suatu proses penurunan sifat meternal secara total melalui perkembangan
telur tanpa kontribusi sperma secara genetik untuk embrio. Ginogenesis
merupakan suatu bentuk rekayasa genetik yang menonaktifkan materi genetik
sperma dan merangsang diploidisasi untuk terbentuknya zigot. Sedangkan dalam
perlakuan poliploidisasi, proses awal pembelahan sel pada telur yang telah
dibuahi dihambat dengan menggunakan perlakuan fisik atau kimia. Salah satu
tujuan utama dalam poliploidisasi adalah untuk menghasilkan individu triploid
yang steril karena jumlah set kromososm yang ganjil akan menghambat pembelahan
meiosis sehingga perkembangan gonad akan terhambat. Hasil praktikum ginogenesis dan poliploidisasi
mati semua sehingga dapat dikatakan gagal dalam penetasan telur. Rendahnya derajat penetasan telur dapat diakibatkan oleh pengaruh
perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur. Besar dan lamanya pemberian suhu
kejutan merupakan faktor penentu keberhasilan perlakuan ini. Keberhasilan
poliploidisasi melalui perlakuan kejutan suhu sangat dipengaruhi oleh suhu
kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan.
Kata
kunci : ginogenesis, poliploidisasi, asetokarmin, kromosom.
I.
Pendahuluan
Genetik merupakan
faktor internal yang mempengaruhi kegiatan budidaya. Dalam usaha budidaya ikan, rekayasa set kromosom untuk
mendapatkan individu baru yang unggul dan memiliki ciri khas tertentu sangatlah
penting. Hal ini terkait dengan upaya peningkatan produksi hasil budidaya yang bisa meningkatkkan keuntungan dari
segi finansial. Untuk mendapatkan benih yang bagus bisa didapat dengan menggunakan
sistem-sistem teknologi yang digunakan dalam menghasilkan paket teknologi
genetik yakni dengan manipulasi genetik. Salah satu manipulasi genetik adalah
manipulasi kromosom dengan tujuan untuk menghasilkan individu diploid homozigot
dan poliploid. Manipulasi ini bisa dilakukan pada proses pembuahan dan
pembentukan zigot (Sumantadinata, 1988). Cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan
komoditas unggul dan sesuai kebutuhan dapat dilakukan rekayasa genetik. Salah
satu rekayasa genetik yang dapat dilakukan adalah ginogenesis. Ginogenesis
adalah penurunan sifat materi melalui perkembangan telur tanpa kontribusi
sperma. Ginogenesis buatan adalan rekayasa genetik untuk memperoleh keturunan
homozigot, yang seluruh keturunannya adalah betina. Manfaat dari ginogenesis
antara lain memperoleh semua individu betina. Pada beberapa spesies tertentu,
ikan betina lebih cepat tumbuh dibandingkan ikan jantan. Selain itu, ikan hias
betina pada spesies tertentu memiliki warna tubuh yang lebih menarik sehingga
memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Budidaya
perairan merupakan kegiatan pemeliharaan. Dimana dalam pemeliharaan dibutuhkan
campur tangan manusia dalam menangani penyediaan benih dan pakan, menjaga
lingkungan dan kesehatan ikan dengan menggunakan sistem-sistem teknologi untuk menunjang kegiatan budidaya
tersebut. Tujuan praktikum ini adalah mengetahui teknologi rekayasa set kromosom
serta metode analisanya.
II.
Bahan dan Metode
2.1 Ginogenesis
ikan mas (Cyprinus carpio)
Praktikum
dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, 26-27 Februari 2011, bertempat di
Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang dipergunakan pada
praktikum adalah sperma
ikan mas, telur ikan mas, methylen blue, dan larutan fisiologis. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada adalah bulu ayam, lempengan kaca,
akuarium, termometer, sendok, pemanas air, mangkuk, stopwatch, sinar ultraviolet, dan kertas tissue.
Perlakuan
ginogenesis dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: sperma diencerkan sekitar 100 kali
dengan larutan fisiologis sebelum diradiasi dengan lampu ultraviolet. Kemudian, lapisan sperma dengan
kedalaman ± 0,1 mm diradiasi dengan intesitas radiasi ± 4.500 - 4.800 ergs/mm2
selama 1.5 – 2 menit dengan jarak penyinaran 15 cm. Selanjutnya, sperma dan
telur dicampur merata menggunakan bulu ayam. Tunggu 3 menit dari waktu
pembuahan , telur tersebut diberi kejutan panas dengan suhu 40°C selama 1.5 – 2
menit. Terakhir, telur diinkubasi dalam akuarium kaca yang telah dicampur
dengan methylen blue pada suhu 28°C.
2.2 Poliploidisasi
ikan nila (Oreochromis niloticus)
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 05
Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Bahan-bahan
yang dipergunakan pada praktikum adalah induk ikan nila, air panas,
methylen blue, dan akuabides. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada adalah bulu ayam, saringan, akuarium,
termometer, sendok, water bath,
mangkuk, stopwatch, dan kertas tissue.
Perlakuan
poliploidisasi ikan nila dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut:
telur dan sperma ikan nila dicampur, diaduk menggunakan bulu ayam, dan
diletakkan ke dalam wadah pembuahan (mangkuk). Tunggu selama 4 menit dari awal
pembuahan, lalu telur dipindahkan ke dalam saringan. Selanjutnya, saringan
dimasukkan ke dalam water bath bersuhu
± 41°C dan dibiarkan selama 4 menit. Kemudian, dipindahkan ke akuarium
pemeliharaan yang telah diberi methylen blue dan aerasi. Terakhir, pelihara
telur ikan perlakuan hingga menjadi larva atau benih dan siap diamati tingkat
keberhasilannya.
2.3 Pengamatan Gonad
Metode Asetokarmin
Praktikum
dilaksanakan pada hari Rabu, 23 Maret
2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bahan-bahan
yang dipergunakan dalam praktikum
adalah ikan uji, asam asetat 45 %,
karmin (Carmine), dan akuades. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah timbangan, pipet tetes, mikroskop,
alat bedah, hot plate, gelas objek,
gelas penutup, dan kertas saring.
Pemeriksaan gonad
metode asetokarmin dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut:
larutkan 0.6 gram bubuk karmin dalam 100 ml asam asetat 45 % (45 ml asam asetat
+ 55 ml akuades). Selanjutnya, larutan tersebut didihkan selama 2-4 menit,
kemudian didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring untuk
memisahkan partikel kasarnya. Kemudian, pewarnaan dilakukan dengan cara
memberikan beberapa tetes larutan asetokarmin pada gonad ikan yang telah
dicacah dan diletakkan di atas gelas objek. Terakhir, setelah didiamkan
beberapa menit, ditutup dengan gelas penutup dan diamati di bawah mikroskop.
2.4 Preparasi Kromosom Teknik Jaringan Padat
Praktikum
dilaksanakan pada hari Sabtu, 12 Maret 2011, dan dilakukan pengamatan pada hari
Rabu, 16 Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika
Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang dipergunakan dalam praktikum adalah kolkisin (C22H25NO6),
metanol atau ethanol (C2H5OH), kalium klorida (KCl), asam
asetat glacial (CH3COOH), giemsa, dan akuades. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada praktikum adalah timbangan, mikroskop binokuler, hot plate, gelas objek, alat bedah
(pinset dan pisau bedah), pipet tetes, gelas objek cekung, dan kertas tissue.
Preparasi kromosom
teknik jaringan padat dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut:
dalam perendaman dengan kolkisin dan pengawetan jaringan, larva ikan direndam dalam larutan kolkisin
0.07 % w/v selama 6-9 jam. Selama perendaman, ikan dibiarkan berenang dalam
wadah dengan aerasi yang baik. Setelah itu larva tersebut direndam dalam
larutan hipotonik (KCl 0.075 M) selama 60 menit pada suhu ruang. Larutan
hipotonik diganti setiap 30 menit selama waktu perendaman dengan volume 20 kali
lipat volume jaringan. Selanjutnya, jaringan difiksasi dengan larutan Carnoy
selama 60 menit. Larutan Carnoy diganti dengan yang baru setiap 30 menit.
Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan preparat (bila diperlukan jaringan yang
telah difiksasi dapat disimpan dalam refrigerator selama 1-2 minggu).
Dalam pembuatan
preparat dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: jaringan yang
telah difiksasi diambil dengan menggunakan pinset dan disentuhkan pada kertas
tissue untuk menghilangkan larutan fiksatif. Kemudian, jaringan tersebut
diletakkan di atas gelas objek cekung
dan ditambahkan 3-4 tetes asam asetat 50 %. Setelah itu jaringan
digerak-gerakkan dengan menggunakan pisau bedah secara hati-hati hingga
terbentuk suspensi sel (larutan menjadi keruh). Kemudian, gelas objek yang akan
digunakan sebagai preparat sebelumnya direndam di dalam alkohol 70 % minimal
selama 2 jam. Terakhir, suspensi sel yang terbentuk diambil dengan menggunakan
pipet tetes lalu diteteskan di atas gelas objek yang ditempatkan di atas hot plate dengan suhu 45-50°C, dan
dihisap kembali dengan cepat setelah terbentuk lingkaran (ring) dengan diameter
1-1.5 cm. Pada setiap gelas objek idealnya dapat dibuat menjadi 3 lingkaran.
Pewarnaan preparat
dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: preparat yang telah
berisi lingkaran (ring) diwarnai dengan larutan giemsa 10 % dengan cara
memberikan larutan sebanyak 3-5 tetes lalu disebarkan hingga menutupi ring
dengan menggunakan tusuk gigi, atau melalui teknik perendaman. Pewarnaan
dilakukan selama 20-30 menit pada suhu kamar. Kemudian, preparat dibilas dengan
menggunakan akuades lalu dibiarkan kering udara. Terakhir, preparat diamati di
bawah mikroskop.
2.5 Preparasi
Nukleolus
Praktikum
dilaksanakan pada hari Sabtu, 12 Maret 2011, dan dilakukan pengamatan pada hari
Rabu, 16 Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika
Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum adalah ikan uji, asam formiat, perak nitrat (AgNO3),
etanol absolute, gliserin, gelatin, asam asetat glacial, asam asetat 50 %,
kalium klorida (KCl), dan akuades. Sedangkan alat-alat yang dipergunakan pada praktikum
kali ini terdiri dari: gelas objek cekung, gelas preparat, box staining, tusuk gigi, mikroskop, alat bedah, hot plate, dan kertas tissue.
Preparasi
nukleolus dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: dalam
perendaman dengan larutan hipotonik (KCl 0.075 M) selama 60 menit pada suhu
ruang. Larutan hipotonik diganti setiap 30 menit selama waktu perendaman dengan
volume 20 kali lipat volume jaringan. Selanjutnya, jaringan difiksasi dengan
larutan Carnoy selama 60 menit. Larutan Carnoy diganti dengan yang baru setiap
30 menit. Kemudian, proses dapat dilanjutkan
atau dapat dihentikan dengan menyimpan jaringan yang telah direndam dalam
larutan Carnoy tersebut dalam refrigerator dengan suhu 4°C. Jaringan tersebut
dapat digunakan sampai 2-3 minggu. Kemudian, jaringan diambil dan dikeringkan
dengan menyentuhkan kertas tissue agar larutan fiksatif hilang. Selanjutnya,
jaringan ditempatkan dalam gelas objek cekung dan ditambahkan dengan 3-4 tetes
asam asetat 50 %. Kemudian, jaringan digerak-gerakkan secara hati-hati dengan
menggunakan pisau bedah hingga terbentuk suspensi sel (warna larutan menjadi
keruh). Terakhir, suspensi sel tersebut dihisap dengan pipet tetes lalu
diteteskan di atas gelas preparat yang telah direndam dalam alkohol absolute
dan ditempatkan di atas hot plate
dengan suhu 45-50°C kemudian dihisap kembali dengan cepat hingga terbentuk
ring.
Pewarnaan preparat
dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: sebanyak 2 tetes larutan
A dan 1 tetes larutan B diteteskan di atas
preparat lalu dicampur dan disebarkan ke seluruh permukaan gelas preparat
dengan menggunakan tusuk gigi. Selanjutnya, preparat ditempatkan dalam box
staining dengan suhu 40-45°C dibiarkan selama 20 menit atau sampai warna
berubah menjadi kuning kecoklatan. Kemudian, preparat diangkat dan dibilas
dengan menggunakan akuades lalu dibiarkan kering udara. Terakhir, preparat
diamati di bawah mikroskop.
2.6 Analisis Data
Parameter uji adalah laju penetasan (HR) dan kelangsungan hidup (SR), serta analisis ploidisasi dengan menghitung jumlah nukleolus.
HR = x100%
SR = x100%
Keterangan :
HR (Hatcing
Rate )= daya tetas
SR (Survival
Rate) = kelangsungan hidup
III.
Hasil
Ginogenesis adalah proses penurunan sifat material secara
total melalui perkembangan gonad betina tanpa kontribusi gonad jantan secara
genetik untuk menjadi embrio (Sumantadinata, 1987 dalam Wijayanti, 2002). Proses ginogenesis memiliki dua tahapan
yaitu menonaktifkan bahan genetik sperma dan meninggalkan jumlah zigot yang
diploid (Golovinskaya, 1972 dalam Yusrizal, 2004). Ginogenesis buatan
dapat dilakukan dengan menggunakan bahan mutagen untuk menonaktifkan sperma
seperti sinar gamma, sinar X dan sinar ultraviolet (Dunham, 2004 dalam
Yusrizal, 2004).
Ginogenesis buatan yang dilakukan saat praktikum adalah
menggunakan radiasi dengan sinar Ultraviolet terhadap gonad jantan dan
melakukan kejutan panas pada telur yang telah dibuahi sesaat setelah pembuahan.
Penyinaran UV terhadap gonad jantan bertujuan menghilangkan sifat aktif dari
kromosom sperma, kerusakan kromosom sperma tidak merusak kemampuan sperma dalam
merangsang pertumbuhan embrio (Cherfas, 1981). Kejutan panas
dilakukan dengan merendam telur-telur yang telah dibuahi pada air panas bersuhu
41oC ± 1oC sesaat setelah pembuahan (Sumantadinata, 1987). Tujuan dari kejutan
panas tersebut adalah mengembalikan polar
body II.
Hasil praktikum ginogenesis mati semua sehingga dapat
dikatakan gagal dalam penetasan telur. Rendahnya derajat penetasan telur dapat diakibatkan oleh pengaruh
perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam proses ginogenesis.
Besar dan lamanya pemberian suhu kejutan merupakan faktor penentu keberhasilan
perlakuan ini. Keberhasilan ginogenesis melalui perlakuan kejutan suhu sangat dipengaruhi oleh suhu kejutan,
waktu kejutan dan lama kejutan.
Pengelolaan budidaya ikan perlu memperhatikan
efisiensi dan produktivitas usaha serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi
dengan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas induk maupun benih ikan. Saat
ini disinyalir telah terjadi penurunan kualitas induk maupun benih ikan yang dipelihara oleh petani
ikan. Beberapa usaha maupun penelitian telah dilakukan dalam upaya peningkatan
produktivitas (produksi) dan perbaikan serta peningkatan kualitas genetik ikan
mas seperti program seleksi, manipulasi jenis kelamin melalui perlakuan hormonal
maupun manipulasi kromosom.
Manipulasi kromosom dilakukan selama siklus
nukleus dalam pembelahan sel. Pada dasarnya adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid.
Pada ikan dan hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, proses-proses buatan
dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur
terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983).
Salah satu metode manipulasi kromosom adalah poliploidisasi.
Poliploidisasi merupakan salah satu metode
manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna
menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan, antara lain:
pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap
penyakit. Proses poliploidisasi pada ikan yang sering dilakukan ada 2 macam
yaitu pembentukan individu triploid dan pembentukan individu tetraploid.
Individu triploid di dalam tubuhnya memiliki 3 set kromosom, sementara individu
tetraploid di dalam tubuhnya memiliki 4 set kromosom (Thorgaard, 1983).
Tabel 1. Hatching rate (HR) hasil poliploidisasi ikan nila (O. niloticus)
Perlakuan
|
No
|
Nt
|
HR (%)
|
SR (%)
|
4n
60’
|
150
|
0
|
0
|
0
|
4n
65’
|
150
|
10
|
6.67
|
0
|
4n
70’
|
150
|
116
|
77.33
|
0
|
4n
75’
|
150
|
7
|
4.67
|
0
|
4n
80’
|
150
|
12
|
8
|
0
|
4n
85’
|
150
|
0
|
0
|
0
|
4n
90’
|
150
|
0
|
0
|
0
|
4n
95’
|
150
|
0
|
0
|
0
|
4n
65’
|
150
|
16
|
10.67
|
0
|
4n
65’ dan 80’
|
150
|
0
|
0
|
0
|
Keterangan
:
No = jumlah telur awal
Nt = jumlah telur akhir
HR = derajat penetasan
Teknik-teknik
manipulasi kromosom telah diterangkan oleh para peneliti sejak tahun 1970-an
dan teknik ini potensial untuk sex control dan manipulasi genome
(Thorgaard, 1983). Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat menarik
perhatian masyarakat petani ikan maupun para peneliti di bidang perikanan.
Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti
melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic
pressure) dan atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body II
atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Carman et al,
1992).
Thorgaard (1983) menyatakan
bahwa pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas
merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi
triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi)
pada suhu lethal. Kejutan suhu selain murah dan mudah juga efisien dapat
dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik
perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada
ikan (Don and Avtalion, 1986). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan untuk menghasilkan poliploidisasi pada
ikan juga mempengaruhi laju penetasan, abnormalitas, kelangsungan hidup
dan laju pertumbuhan ikan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan
kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan lama
kejutan (Don and Avtalion, 1986),
namun parameter tersebut berbeda untuk
setiap spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988).
Gagalnya
proses pembuahan pada telur juga terjadi akibat kondisi dari lingkungan tempat
penetasan itu sendiri yakni tingkat aerasi yang kurang serta dibiarkannya
telur-telur tersebut bergerombol di satu titik pada permukaan lempeng kaca.
Seperti yang kita tahu bahwa sifat dari telur ikan adalah mudah menempel antar
sesama telur, sehingga proses pembuahan akan terhambat bahkan mati akibat
kurangnya pasokan oksigen pada masing-masing telur tersebut (Woynarovich and Horvath, 1980). Selain itu suhu lingkungan juga mempengaruhi tingkat
keberhasilan penetasan telur (Effendie,1997) sementara itu suhu hangat yang
diperlukan bagi telur tersebut juga sangat minim sekali, karena heater yang
digunakan hanya ada satu untuk satu akuarium besar yang berisi sekitar 6-7
akuarium kecil. Untuk diketahui, intensitas dan lama waktu penyinaran sinar UV
selain dapat menghilangkan material genetik pada sperma, juga dapat menyebabkan
kematian pada sperma.
Menurut
Zairin (2002) ada dua metode identifikasi kelamin, yaitu metode morfologi dan
metode asetokarmin. Identifikasi
kelamin berdasarkan morfologi adalah cara yang hemat karena tidak perlu
membunuh ikan uji. Cara ini ideal untuk ikan-ikan yang memiliki dimorfisme
seksual yang jelas antara jantan dengan betinanya. Untuk ikan yang tidak
memiliki dimorfisme seksual, identifikasi kelamin dapat juga dilakukan dengan
melihat ciri-ciri khusus yang ada pada tubuh ikan (Zairin, 2002).
Hasil
praktikum poliploidisasi mati semua sehingga dapat dikatakan gagal dalam
penetasan telur. Rendahnya
derajat penetasan telur dapat diakibatkan oleh pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang
diberikan pada telur dalam proses ginogenesis. Besar dan lamanya pemberian suhu
kejutan merupakan faktor penentu keberhasilan perlakuan ini. Keberhasilan ginogenesis melalui perlakuan kejutan suhu
sangat dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan.
Untuk menganalisa keberhasilan proses ginogenesis dan
poliploidisasi dapat dilakukan dengan preparasi kromososm teknik jaringan
padat, preparasi nukleolus dan metode asetokarmin.
Asetokarmin
merupakan salah satu modifikasi teknik pewarnaan yang peling populer terutama
dalam bidang sitogenetika untuk penelaahan kromosom (Gunarso, 1989). Metode
pemeriksaan gonad yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode asetokarmin.
Pewarna asetokarmin terdiri dari bubuk karmin dan asam asetat 45%. Karmin
merupakan zat warna yang terbuat dari eksrak kochinil yang merupakan hasil
gerusan serangga Coccus cacti yang dikeringkan (Gunarso, 1989).
Identifikasi gonad dengan larutan asetokarmin dibuat hanya dilakukan untuk
tujuan penelitian atau mencari data awal (Zairin, 2002).
Gambar 1.
Persentase jenis kelamin hasil pengamatan metode asetokarmin A) Ikan nila (Orechromis niloticus) besar. B) Ikan nila (Orechromis
niloticus) kecil . C) Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Berdasarkan
data hasil
praktikum jumlah jantan nila besar adalah 4 dan betina nila besar berjumlah 5 dengan total sampel berjumlah 11 ikan. Sedangkan jumlah jantan nila kecil adalah 17 dan betina nila kecil berjumlah 6 dengan total sampel berjumlah 22 ikan. Dan jumlah jantan ikan mas 52 dan jumlah ikan mas betina tidak ada
sehingga jumlah total sampel ikan mas 25 ekor. Untuk data presentasenya, jantan nila besar 56 % dan betina nila besar 44%. Ikan jantan nila kecil 74 % dan
betina kecil 26%. Dan ikan mas 100%
jantan. Menurut
Zairin (2002) untuk
budidaya pembesaran ikan monoseks kelimpahan jenis kelamin yang digunakan
adalah 100% betina atau 100% jantan.
Metoda
asetokarmin memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yakni selain murah,
mudah, cepat pengerjaannya, metode ini juga tidak memerlukan alat atau bahan
yang sulit didapat. Sedangkan untuk kekurangan yakni metode ini harus mematikan
dulu ikan yang akan diperiksa gonadnya dan metode ini mempunyai kendala yaitu
tingkat kesulitan dalam menemukan gonad ikan muda yang relatif kecil (berbentuk
seperti benang) sehingga sulit untuk diambil (Zairin, 2002).
Pada
mikroskop, sel sperma akan tampak seperti
titik-titik kecil yang berjumlah banyak sedangkan sel telur akan terlihat
seperti bulatan besar dengan adanya
inti di bagian tengah. Guerrero dan Shelton (1974) dalam Nursyirwan (1989)
menyatakan bahwa Larutan asetokarmin berfungsi untuk mempermudah
identifikasi. Menurut Zairin (2002) identifikasi gonad dengan larutan asetokarmin dibuat hanya dilakukan
untuk tujuan penelitian atau mencari data awal. Ada dua metode identifikasi
kelamin, yaitu metode morfologi dan metode asetokarmin. Identifikasi kelamin berdasarkan morfologi adalah
cara yang digunakan pada ikkan yang sudah terdapat diferensiasi antara jantan
dan betina sehingga tidak perlu membunuh ikan uji. Untuk ikan yang tidak
memiliki dimorfisme seksual, identifikasi kelamin dapat juga dilakukan dengan
melihat ciri-ciri khusus yang ada pada tubuh ikan (Zairin, 2002).
Karakteristik
gonad jantan dan betina sangat berbeda. Gonad jantan memiliki ukuran kecil,
berwarna putih susu, dan berpasangan. Gonad betina agak mirip gonad jantan,
tetapi berwarna agak kekuningan dan diselubungi lemak. Bentuknya relatif hampir
sama uintuk semua jenis ikan. Kadang-kadang di dalam gonad yang sama dapat
dijumpai sekaligus bakal testis dan bakal ovari. Dengan pewarnaan asetokarmin,
sel bakal sperma tampak berupa titik-titik kecil berjunlah banyak. Sel bakal
telur tampak berbentuk bulatan besar dan bagian inti berada ditengah dengan
warna lebih pucat dikelilingi sitoplasma yang berwarna merah.
Dalam
praktikum ini kendala yang dialami adalah tingkat kesulitan dalam menemukan
gonad ikan muda, karena ganad ikan muda relatif kecil sehingga sulit untuk
diambil. Kelemahan metode asetokarmin ini yaitu ikan yang diambil gonadnya harus
dimatikan (Zairin, 2002).
Perlakuan
kolkisin dilakukan untuk memberhentikan pembelahan sampai tahap metafase,
karena pada tahap ini kromosom berkontraksi maksimum dan nampak paling jelas.
Selanjutnya larutan hipotonik (KCl) dapat memperbesar sel dan membuat letak
kromosom menyebar lalu difiksasi dengan larutan Carnoy untuk mempertahankan
bentuk dan keutuhan kromosom. Kemudian dilakukan pewarnaan sehingga kromosom
mudah diamati di bawah mikroskop. Jumlah kromosom dapat dilihat dengan baik
dengan bantuan kolkisin, larutan hipotonik, fiksasi dan pewarnaan.
Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Levan
and Sandberg (1964) bahwasannya
tujuan dari preparasi adalah menentukan ploidi dari setiap spesies. Pada saat
praktikum banyak kromosom tidak dapat diidentifikasi jumlah kromosomnya karena
bentuk kromosom yang menumpuk. Hal ini terjadi karena pewarnaan giemsha tidak
dilakukan dengan meneteskannya melainkan direndam dengan larutan giemsha
tersebut.
Pada hasil pengamatan jumlah kromosom ikan nila
diperoleh modus jumlah kromosomnya adalah tidak ada karena semua data yang
diperoleh dari nila tidak dapat diamati sehingga modusnya tidak dapat
ditentukan. Mengacu Levan and Sandberg (1964) pada bahwasannya jumlah kromosom 44 pada nila
adalah diploid. Menurut Carman (1992) dalam Setiadi (1993), penentuan
tingkat ploidi secara langsung dengan penghitungan kromosom (preparat dibuat
secara langsung atau melalui kultur jaringan) dapat memberikan hasil yang
akurat.
Perbedaan hasil pengamatan dengan literatur
mengenai jumlah kromosom pada ikan nila juga dapat disebabkan oleh perbedaan
genetik. Genetik yang digunakan pada saat praktikum dan pengamatan oleh penulis
literatur. Di samping itu dapat pula disebabkan oleh faktor paralaks ketika
menghitung jumlah kromosom ikan di bawah mikroskop.
Metode analisa lainnya adalah preparasi nukleolus. Nukleolus
merupakan anak inti yang terdapat di dalam inti sel (Yamin, 1991). Sedangkan
menurut Schwarzacher and Wacthler
(1983), nukleoulus merupakan struktur yang nampak pada interfase dan muncul
akibat adanya aksi gen NOR (Nucleolar Organizer Region), yaitu daerah khusus
pada kromosom yang menyebabkan formasi nukleolus pada interfase.
Menurut Wilson and
Morrison (1961), nukleolus dibentuk selama telofase. Begitu juga menurut
Dnyansagar (1986), bahwa secara normal nukleolus menghilang pada akhir profase
dan di bentuk kembali pada fase telofase. Nukleolus dibentuk
disekitar NOR (De Robertis, 1981). Menurut Wilson and Morrison (1961), nukleolus
berbentuk bulat dan bersifat basofil , karena mengandung subunit ribososm (rRNA) yang kemudian dilepas dalam
sitoplasma yang mengalami perubahan- perubahan sebelum bergabung menjadi
ribosom, yang selanjutnya kan keluar dari nukleolus melewati pori-pori selubung
inti.
Menurut Smith and
Wood (1992), nukleolus terdiri dari tiga daerah yaitu: pusat serat (fibril
centres), serat padat (dense fibrilar) dan granula. Pusat serat mengandung
gen-gen rRNA dalam membentuk sebagian kromatin padat. Pusat serat ini
dikelilingi komponen serat padat dan dikelilingi oleh granula yang mengandung
partikel ribosom. Nukleolus mempunyai dua fungsi yaitu mengatur pembelahan sel
dan mensintesa ribosom bersama bersama asam nukleatnya yang disebut
ARN-ribososm (Yatim,1991).
Penghitungan nukleolus dapat digunakan untuk
mengidentifikasi ploidi secara tidak langsung (Carman et al,1992). Menurut Philips et
al (1986) metode perhitungan nukleolus merupakan metode yang mudah dan
relatif murah serta berpeluang besar untuk diterapkan pada berbagai spesies
ikan, karena dengan metode ini jaringan apapun dapat digunakan dan jaringan
yang diperlukan sedikit. Carman et al
(1992) mengemukakan bahwa penentuan
ploidi beberapa sempel dapat dilihat hanya dalam waktu singkat dan
sampel dapat diamati tampa membunuh ikan.
Menurut Howell and
Black (1980), metode penghitungan nukleolus dapat menggunakan metode
pembercakan perak nitrat (silver staining). Metode ini relatif mudah , hemat
waktu dan dapat digunakan secara praktis. Perak nitrat mewarnai
komponen-komponen protein pada nukleolus. Dengan demikian
secara langsung ada hubungannya antara kemampuan perak nitrat dengan aktifnya
transkripsi gen-gen ribosom (Hubbel, 1985).
Jumlah nukleolus yang terdeteksi dengan pembercakan perak
nitrat pada saat interfase sel inti akan berwarna kuning dengan nukleolus
berwarna hitam. Sedangkan pada fase metafase kromosom berwarna kuning dengan
NOR berwarna hitam (Philips et al, 1986).
Untuk menentukan jumlah nukleolus ditentukan dengan menentukan jumlah maksimal
nukleoli per sel. Menurut Wilson and
Morrison (1961), jumlah nukleoli ini bervariasi atau tetap tergantung dari
spesiesnya dan tergantung pada jumlah kromosom yang mempunyai NOR (Becker,
1986).
Menurut Wilson and
Morrison (1961) jumlah nukleolus bervariasi atau tetap tergantung pada spesies
dan jumlah kromosom yang mempunyai NOR. Phillips et al (1986) menyatakan individu haploid mempunyai 1nukleolus pada
setiap sel, individu diploid mempunyai 1 atau 2 nukleolus tiap sel dan triploid
mempunyai 1,2 atau 3 nukleolus tiap
selnya. Menurut Carman et al, 1992) keragaman pada jumlah
maksimal nukleolus kemungkinan akibat terjadinya penggabungan antar beberapa
nukleoli atau pembelahan nukleoli karena adanya beberapa proses fisiologis
selama siklus hidup sel.
Tingkat keberhasilan yang rendah terutama
disebabkan oleh pewarnaan perak nitrat yang tidak berhasil meresap ke dalam sel
dan mewarnai nukleoplasma serta nukleolus. Hal ini terindikasi dari preparat
yang tampak transparan. Menurut Gold (1984) dalam Setiadi
(1995) kegagalan pewarnaan terjadi karena sifat pewarna perak nitrat adalah
hanya mewarnai nucleolar organizer region
(NOR) yang sedang aktif melakukan sintesis ribosom sedangkan pada saat pembuatan
preparat tidak semua NOR berada pada keadaan aktif.
IV. KESIMPULAN
Dari percobaan yang dilakukan dapat
diketahui bahwa banyak faktor yang menentukan keberhasilan dalam ginogenesis dan poliploidi, antara lain lama
penyinaran UV, intensitas cahaya yang diberikan, suhu kejutan dan kualitas
media inkubasi. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut harus diperhatikan
dengan sebaik-baiknya serta metode analisa yang dapat dilakukan untuk
membuktikannya pada ginogenesis dan poliploidisasi adalah pengamatan gonad dengan
metode asetokarmin, preparasi kromosom teknik jaringan padat, dan preparasi
nukleolus.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, WN. 1986. The World of Cell The Benjamin Commings
Publishers. Co. Inc. California.
Carman, O. 1992. Chromosome Set Manipulation in Some-Warm water Fish. A Dissertation
Submitted to The Tokyo University of Fisheries. In Partial Full Fillment
of The Requirement for The Degree of
Doctor of Fisheries Science. 131 p.
Cherfas, NB. 1981. Ginogenesis In Fish, In V.S. Kirpichkov
(Edward). Genetic Bases Of Fish Selection. Springer-Verlay. New York. P:255-273
De Robertis, EDP and EMF De Robertis. 1981. Essentials of Cell and Molecular Biology.
Hult Saunders Japan. p: 214-346.
Dnyansagar, VR. 1986. Cytology and Genetics. Tata Mc Graw. Hill Publ.
Co. limited. New delhi. p: 107-120.
Don J, dan Avtalion RR, 1986. The Induction of Triploidy in Oreochromis
aureus by Heat Shock. Theor. Appl. Genet., 72: 186–192.
Effendie, MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan
Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 50–71.
Gunarso, Wisnu. 1989. Mikroteknik.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat Institut Pertanian Bogor.
Howell, WM and Black,
D. 1980. Controlled Silver Staining of
Nucleolus Organizer Regions with Protective Colloidal Developer. Experientia
36, B. Verlag Basel.
Hubbel, H. R. 1985.
Silver Staining as an Indicator of Active Ribosomal Genes. Stain Technollogy,
60 (5) : 285-294.
Levan, AKF and AA. Sandberg. 1964. Nomenclature for
Centromeric position on Chromosome. Hereditas. 52: 201-220.
Nursyirwan, A. 1989.
Pengaruh Lama Pemberian Hormon Metil Testosteron Terhadap Perubahan Jenis
Kelamin Ikan Mas (Cyprinus carpio) hasil Ginogenesis [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor.
Pandian TJ, dan Varadaraj K, 1988. Techniques to Produce 100% Male Tilapia. NAGA, The ICLARM
Quarterly, 13(34): 3–5.
Phillips RB, KD Zajicek, PE Ihssen and D Johnson. 1986. Application of Silver
Staining to The Identification of Triploid Fish Cells. Aquaculture, 54:313-319.
Purdom, CE. 1983. Genetics enginering by manipulation of chromosomes.
Aquaculturee. 33:287-300.
Rustidja. 1991. Artificial Induced Breeding and Triploidy in The Asian Cat Fish (Clarias
batrachus Linn.) [tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. IPB.
Schwarzacher, HG. and F. Wachtler. 1983. Nuleolar
Organizer Region and Nuleolus. Hum. Gen., 62 : 87-99.
Setiadi, Y. 1993. Pengaruh Waktu awal kejutan
panas terhadap keberhasilan triploidisasi ikan lele local (Clarias btracus L). [Skripsi].
Departemen Budidaya perairan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor
Smith, LT and Wood.
1992.Molecular and cell biochemistry. Cell Biology 1st ed. Chapman
ang Hall. 87-89p.
Sumantadinata, K. 1987. Artificial Gynogenesis Of Common Carp (Cyprinus
Carpio L.) By Using Heat Shock For Diploidization Of Fertilized Eggs. Buletin Perikanan,
Sumantadinata, K. 1988. Aplikasi Bioteknologi dalam Pembenihan.
Buletin Perikanan, (IV); 28-41.
Thorgaard, GH and G.A.E. Gall. 1979. Adult triploid in Rainbow traout family .
Genetics, 93:961-973.
Wijayanti, DR. 2002. Pengaruh Aromatase Inhibitor Terhadap nisbah ikan
nilem (Osteochilus haselti C.V) hasil Ginogenesis. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Wilson, GB. and JH
Morrison. 1961. Cytology. Reinhold Publisher corp. Chapman and Hall, Ltd.
London 297 p.
Woynarovich, E. and L. Hovarth. 1980. The Artificial Propagation or
Warm-Water Finfishes. A Manual for Extention. FAO. Tech. Paper, p: 15-97.
Yatim, W. 1991. Genetika.
Bandung:
tarsito.
Yusrizal. 2004. Ginogenesis Ikan Sumatra (Puntius
tetrazona Bleeker) Dengan Umur Zigot Yang Berbeda Pada Saat Kejutan Panas. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Zairin, Jr M. 2002. Sex Reversal
Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Jakarta: Penebar Swadaya.
father and daughter in porn young jeezy what they want boobs old matures sex pourn leah luv solo anal masterbating videos black man hair designs boys room ideas free full animal sex video
BalasHapushttp://british.erolove.in/?nola
large vinyl sports posters efuk 1 guy 1 jar srilankan girls pictures india visa application san francisco oral vergewaltigung pics of 8 man nfl flag football plays miss mom quotes ass like safire that
http://bdsmgalls.net/?sexy-sharon
milf bree video pregnant evolution rose julianna mauriello xxx
xhamster/ nude moms and daughters allysa milano tits mature puttane gratis porn tapes pantie hose pic post video sexo argentina her very first anal sex how to find stresses in pipe running full of water
BalasHapushttp://bisexuals.erolove.in/?debra
free lesbian porn clip how to last long in sex free download virgin girl funking ist time video with blood pictures of tower 21 fdny amatuer porn india girlfriend sex "rapidshare.com/files/"|"rapidshare.de/files/"|"esnips.com/doc/"|"mediafire.com gay video trailer independence high school
http://bdsmgalls.net/?sexy-trisha
free hot sex kurdish sexo gratis espanol atk hairy zshare sets