MORFOLOGI FUNGI
Ita Apriani
C14090019
1.1
Latar
Belakang
Perkembangan
kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah
memunculkan pemasalahan berupa penurunan daya dukung kolam atau tambak bagi
kehidupan ikan yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbulkan adalah
terjadinya serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian yang besar.
Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi budidaya dengan berpedoman pada
kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang
lebih serius.
Timbunan bahan
organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang
mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air
yang baik akan memacu penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang,
khususnya algae bloom
yang menyebabkan deplesi oksigen dan keracunan pada ikan. Penggunaan
desinfektan dan antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah
penyakit juga memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan,
dengan sifatnya yang tidak spesifik, terkadang tidak hanya mematikan organisme
sasaran.
Perlu diketahui
bahwa antibiotik tidak hanya
spesifik bagi
pengendalian serangan penyakit bakteri saja, melainkan juga beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh fungi dan
pengetahuan tentang fungi sangat diperlukan. Khamir juga mempunyai manfaat
yang menguntungkan misalnya, berperan dalam mengatasi masalah penyakit sebagai
penghasil antibiotik dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit,
dalam bidang pakan berperan dalam fermentasi pakan yaitu untuk meningkatkan
nilai nutrisi pakan ikan, sedangkan dalam proses bioremediasi berperan
untuk mengatasi masalah lingkungan perairan.
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui morfologi fungi
sehingga dapat dimanfaatkan dalam perkembangan kegiatan budidaya perikanan
selanjutnya.
1.2
Tujuan
Praktikum ini
bertujuan mengamati morfologi fungi (kapang dan khamir).
I.
METODOLOGI
1.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 20 Maret 2011 pada pukul 07.00-10.00 WIB. Bertempat di
Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budi Daya Perairan, Institut Pertanian
Bogor.
1.2
Alat
dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikun ini adalah gelas
objek, gelas penutup, mikroskop, jarum inokulum dan bunsen. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah biakan murni khamir, akuades steril, larutan biru
metilin, dan alkohol 70%.
1.3
Prosedur
Kerja
Gelas
objek dan gelas penutup dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70%. Pada bagian
tengah objek gelas diberi 1 tetes larutan biru metilin. Kemudia suspensi khamir
diambil dengan menggunaka ose dan dicampurkan dengan zat warna tadi hingga
rata. Lalu gelas objek ditutup dengan gelas penutup dan diusahakan tidak
terbentu gelembung udara. Kemudian diamati dan digambar bentuk sel yang tampak
di bawah mikroskop. Sel yang transparan berarti masih hidup dan yang berwarna
biru berarti sel yang sudah mati. Kemudian dilakukan perhitungan dengan
mengambil 10 lapang pandang, kemudian dihitung persentase sel khamir yang mati
(A) dari sel-sel yang hidup (B), dengan menggunakan rumus:
I.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1.1
Hasil
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai perikut :
Tabel
1. Hasil pengamatan
Umur
khamir
|
Kelompok
|
Sel Mati
(%)
|
|
1 hari
|
7
|
72,58
|
|
8
|
66,03
|
||
9
|
97,03
|
||
10
|
83,78
|
||
11
|
30,79
|
||
12
|
60,
59
|
||
3 hari
|
7
|
75,56
|
|
8
|
97,82
|
||
9
|
96,28
|
||
10
|
98,20
|
||
11
|
52,46
|
||
12
|
30,
37
|
||
6 hari
|
7
|
58,38
|
|
8
|
99,87
|
||
9
|
100
|
||
10
|
100
|
||
11
|
70,76
|
||
12
|
40,36
|
Berdasarkan tabel 1 diatas, secara umum jumlah sel
mati pada hari ke-6 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sel mati pada hari
ke-3, dan jumlah sel mati fungi pada hari ke-1 lebih sedikit dari keduanya.
1.2
Pembahasan
Fungi
merupakan mikroorganisme yang tidak memiliki klorofil dan hidup secara
heterotrof dengan menguraikan bahan-bahan organik yang ada dilingkungannya dan
menyerapnya untuk mendapatkan nutrient. Seperti yang telah diketahui bahwa fungi
dikelompokkan menjadi 2 yaitu kapang dan khamir, kapang merupakan fungi yang bersifat
multiseluler dan menghasilkan miselium. Sedangkan khamir merupakan fungi yang
bersifat uniseluler dan tidak menghasilkan miselium.
Kapang merupakan jenis jamur multiseluler
yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah bahan
– bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Di bawah mikroskop
dapat dilihat bahwa morfologi kapang terdiri dari benang yang disebut hifa, kumpulan hifa
ini dikenal sebagai miselium. Kapang
merupakan mikroba dengan struktur talus berupa benang-benang (hifa) yang
terjalin seperti jala (myselium). Hifa dapat berekat (septat)
dengan inti tunggal/ lebih dan hifa tidak bersekat (aseptat). Penampakan
morfologi koloni pada umumnya seperti benang (filamentous) yang
pertumbuhannya membentuk lingkaran. Morfologi koloninya dapat dengan mudah
dibedakan dengan bakteri walaupun ada beberapa jenis bakteri yang koloninya
mirip jamur, seperti dari kelompok Actinomycetes atau Bacillus mycoides.
Koloni kapang memiliki keragaman warna yang muncul dari sporanya. Kapang tersebut mudah dijumpai pada
bagian-bagian ruangan yang lembab, seperti langit-langit bekas bocor, dinding
yang dirembesi air, atau pada perabotan lembab yang jarang terkena sinar
matahari. Kapang melakukan reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora
kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora
aseksual dihasilkan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
spora seksual. Spora aseksual memiliki ukuran yang kecil (diameter 1 – 10 μm)
dan ringan, sehingga penyebarannya umumnya secara pasif menggunakan aliran
udara (Anonim,
2010).
Khamir merupakan jenis jamur
uniseluler. Istilah khamir umumnya digunakan untuk bentuk-bentuk yang
menyerupai jamur dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi
uniseluler berbentuk ovoid atau spheroid. Bentuk morfologi khamir dapat sperikal sampai ovoid,
kadang dapat membentuk miselium semu. Ukuran juga bervariasi. Struktur yang
dapat diamati meliputi dinding sel, sitoplasma, vakuol air, globula lemak dan
granula. Kebanyakan khamir melakukan reproduksi secara aseksual melalui
pembentukan tunas secara multilateral ataupun polar. Reproduksi secara seksual
menghasilkan askospora melalui konjugasi dua sel atau konjugasi dua askospora
yang menghasilkan sel anakan kecil. Jumlah spora dalam askus bervariasi
tergantung macam khamirnya. Yeast
atau khamir merupakan fungi
mikroskopik uniseluler, tidak membentuk hifa (beberapa spesies dapat membentuk
pseudohifa). Bentuk selnya bervariasi dapat berbentuk bulat, bulat telur, bulat
memanjang dengan ukuran 1-9x20 μm. Beberapa spesies yeast memiliki sifat dimorfisme
yaitu bentuk sel tunggal dan bentuk hifa atau pseudohifa. Pseudohifa adalah
hifa yeast yang terbentuk dari rangkaian sel hasil pembelahan aseksual secara
budding, tetapi tidak melepaskan diri dari induk. Morfologi internal sel mudah
dilihat dan terdiri dari inti dan organel seperti mitkondria, grannula lemak
dan glikogen. (Anonim, 2010).
Meskipun sama-sama termasuk dalam kelas cendawa, namun
khamir dan kapang memiliki perbedaan. Khamir termasuk dalam kelas Ascomycetes, sedangkan kapang termasuk ke
dalam kelas Deuteromycetes. Perbedaan antara keduanya terletak pada tingkat
seksualnya. Khamir sudah diketahui tingkat seksualnya sehingga disebut cendawan
sempurna, sedangkan kapang belum diketahui tingkat seksualnya sehingga disebut
cendawan tidak sempurna. Selama belum diketahui tingkat seksualnya
cendawan digolongkan pada kelas Deuteromycetes (Pelczar & Chan, 1986).
Peran kapang dan khamir juga di butuhkan dalam dunia budidaya. Namun tidak
semua fungi menguntungkan, ada beberapa jenis fungi yang merugikan bagi
budidaya ikan. Beberapa contoh fungi yang merugikan yaitu Saprolegnia, Branchiomyces demigrans, dan Icthyophonus.
Saprolegnia merupakan genus jamur yang termasuk
dalam kelas Oomycetes. Dalam akuarium, jamur ini kerap dipakai
sebagai nama umum untuk serangan jamur yang menyerupai kapas pada permukaan
tubuh ikan. Pada kenyataannya banyak genus dari Oomycetes yang
dapat menyebabkan infeksi jamur pada ikan, diantaranya adalah Achyla. Saprolegnia atau dikenal juga sebagai
"water molds" dapat menyerang ikan dan juga telur ikan. Mereka
umum dijumpai pada air tawar maupun air payau. Jamur ini dapat tumbuh
pada selang suhu 0 - 35 °C, dengan selang pertumbuhan optimal 15 - 30
°C. Pada umumnya, Saprolegnia akan menyerang bagian tubuh ikan
yang terluka, dan selanjutnya dapat pula menyebar pada jaringan sehat
lainnya. Serangan Saprolegnia biasanya berkaitan dengan kondisi
kualitas air yang buruk, seperti sirkulasi air rendah, kadar oksigen terlarut rendah,
atau kadar amonia tinggi, dan kadar bahan organik tinggi. Kehadiran Saproglegnia
sering pula disertai dengan kahadiran infeksi bakteri Columnaris, atau
parasit eksternal lainnya. Kehadiran Saprolegnia biasanya ditandai dengan
munculnya "benda" seperti kapas, berwarna putih, terkadang dengan
kombinasi kelabu dan coklat, pada kulit, sirip, insang, mata atau telur
ikan. Apabila anda sempat melihatnya di bawah mikroskop maka akan tampak
jamur ini seperti sebuah pohon yang bercabang-cabang
(Purwakusuma, 2011).
Branchiomyces demigrans atau "Gill Rot (busuk
insang)" disebabkan oleh jamur Branchiomyces sanguinis dan Branchiomyces
demigrans . Spesies jamur ini biasanya dijumpai pada ikan yang mengalami
stres lingkungan, seperti pH rendah (5.8 -6.5), kandungan oksigen rendah atau
pertumbuhan algae yang berlebih dalam akuarium, Branchiomyces sp.tumbuh
pada temperatur 14 - 35°C , pertumbuhan optimal biasanya terjadi pada selang
suhu 25 - 31°C. Penyebab utama infeksi biasanya adalah spora jamur yang
terbawa air dan kotoran pada dasar akuarium. Branchiomyces sanguinis dan B. demigrans pada umumnya menyerang insang ikan.
Ikan yang terjangkit akan menunjukkan gejala bernafas dengan tersengal-sengal
dipermukaan air dan malas. Insang tampak mengeras dan berwarna pucat,
khususnya pada daerah yang terjangkit. Pengamatan dibawah mikroskop akan sangat
membantu mengenali serangan jamur ini. Apabila bagian jaringan yang
terserang mati dan lepas, maka spora jamur akan ikut terbebas dan masuk kedalam
air sehingga akan memungkinkan untuk menyerang ikan lainnya
(Purwakusuma, 2011).
Icthyophonus disebabkan oleh jamur Icthyophonus
hoferi. Jamur ini tumbuh baik pada air tawar maupun air asin
(laut). Meskipun demikian, biasanya serangan jamur ini hanya akan
terjadi pada air dingin 2 - 20° C. Penyebaran Icthyophonus
berlangsung melalu kista yang terbawa kotoran ikan atau akibat kanibalisme
terhadap ikan yang terjangkit. Sebaran penyakit biasanya berlangsung melalui pencernaan,
yaitu melalui spora yang termakan. Oleh karena itu, ikan yang
terserang ringan sampai sedang biasanya tidak menunjukkan gejala penyakit. Pada
kasus serangan berat, kulit ikan tampak berubah kasar seperti amplas. Hal
ini disebabkan terjadinya infeksi dibagian bawah kulit dan jaringan
otot. Ikan dapat pula menunjukkan gejala pembengkokan
tulang. Bagian dalam ikan akan pada umumnya tampak membengkak
disertai dengan luka-luka berwarna kelabu-putih
(Purwakusuma, 2011).
Disamping merugikan, beberapa jenis fungi juga
menguntungkan bagi budidaya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa Saccaromices cerevicae
mampu meningkatkan tingkat kekebalan juvenil udang
penaeid sehingga pertumbuhan dan sintasan yang diperoleh lebih baik (Laranja, 2007). Dengan Spirulina sp terbukti berperan sebagai
imunostimulan pada udang dan ikan patin. Dicampur pada pakan ikan dapat
meningkatkan absorpsi kromium pada ikan dan sebagai sumber protein sel tunggal
karena kandungan proteinnya yang tinggi.
Aspergillus
oryzae sebagai probiotik dalam akuakultur,
karena dapat meningkatkan kadar protein, meningkatkan kadar peptida ukuran
kecil (kurang dari 20 kDa) dan menghilangkan penghambat tripsin pada
kedele. Kedele disini digunakan sebagai
pengganti tepung ikan yang mahal pada industri akuakultur.
Antibiotika
adalah karakteristik bahan kimia yang pertama kali ditemukan oleh Alexander
Flaming (1928) di dalam fungi /jamur Peniciline , satu dekade kemudian
bahan kimia ini dibiakkan secara sistemik oleh Florey dari Penicilium
notatum meskipun pada saat itu hasilnya kurang memuaskan, akan tetapi
kemudian pada Penicilium chrysogenum sp ternyata dapat menghasilkan bahan kimia yang memiliki
sifat membunuh jasad renik lainnya tersebut jauh lebih banyak, sehingga spesimen
ini sering dibiakkan. Peniciline adalah Anti
biotik yang digunakan dalam pengobatan pada akhirnya dapat diproduksi di
dalam laboratorium (Adji, 2008).
Berdasarkan
hasil praktikum, kelompok XI menunjukan persentase jumlah sel mati pada hari
ke-6 lebih banyak yaitu sebesar 70,26% dibandingkan dengan persentase jumlah
sel mati pada hari ke-3 yaitu sebesar 52,46%, dan persentase jumlah sel mati
fungi pada hari ke-1 lebih sedikit dari keduanya yaitu hanya mencapai 30,37%. Ada
kalanya setelah fase stasioner (penambahan dengan pengurangan jumlah khamir hampir sama) jumlah khamir
menurun. Hal ini karena habisnya nutrisi dalam media. Khamir juga menghasilkan
metabolisme skunder yang hasilnya menjadi toxik untuk khamir lainnya. Dalam pertumbuhannya setiap
makhluk hidup membutuhkan nutrisi yang mencukupi serta kondisi lingkungan yang
mendukung demi proses pertumbuhan tersebut, termasuk juga fungi. Menurut Darkuni (2001) dalam Soraya
(2003) pertumbuhan fungi
pada umumnya akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh faktor ini akan
memberikan gambaran yang memperlihatkan peningkatan jumlah sel yang berbeda dan pada akhirnya
memberikan gambaran pula terhadap kurva pertumbuhannya. Sedangkan menururt Tarigan
(1988) dalam Soraya
(2003) kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: kebutuhan fisik dan kebutuhan kimiawi.
Aspek-aspek fisik dapat mencakup suhu, pH dan tekanan osmotik. Sedangkan
kebutuhan kimiawi
meliputi air, sumber karbon, nitrogen oksigen, mineral-mineral dan faktor
penumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Soraya
(2003) bahwa terdapat
beberapa faktor abiotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, antara lain: suhu,
kelembapan, cahaya, pH, nutrisi. Apabila dfaktor-faktor abiotik tersebut
memenuhi syarat, sehingga optimum untuk pertumbuhan mikroba, maka mikroba dapat tumbuh dan
berkembang biak.
Dalam praktikum ini juga
digunakan larutan metyilene blue. Metil biru merupakan
pewarna thiazine yang kerap digunakan
sebagai bakterisida dan fungsida pada (O-FISH, 2010). Apabila terlalu lama perendaman
menggunakan biru metilin ini akan membunuh sel khamir yang masih hidup karena
larutan ini bersifat racun sehingga ketika di amati dengan mikroskop akan
banyak sel yang berwarna biru yang menandakan sel tersebut sedaah mati.
I.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.1
Kesimpulan
Fungi dikelompokkan
menjadi 2 yaitu kapang dan khamir,
kapang merupakan fungi yang bersifat multiseluler dan
menghasilkan miselium. Sedangkan khamir merupakan fungi yang bersifat
uniseluler dan tidak menghasilkan miselium.
jumlah sel mati khamir pada hari ke-6 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
sel mati khamir pada hari ke-3, dan jumlah sel mati fungi pada hari ke-1 lebih
sedikit dari keduanya hal ini di sebabkan oleh faktor lingkungan dan kandungan
nutrien yang terdapat dalam media.
1.2
Saran
sebaiknya fungi
(kapang dan khamir) yang di gunakan lebih bervariasi sehingga menambah
pengetahuan tentang fungi baik yang merugikan maupun yang menguntungkan
sehingga akan bermanfaat bagi pengembangan budidaya selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Pengertian kapang dan khamir [terhubung
berkala] http://www.scribd.com/doc/37546226/Pengertian-Kapang-Dan-Khamir
[22 April 2011].
Laranja, J. 2007. Probiotik dalam akuakultur
[terhubung berkala] http://akuakultur.wordpress.com/2007/01/22/mekanisme-antagonistik-dari-probiotik/ [22 April 2011].
O-FISH. 2010. Fungsi
biru metilen [terhubung berkala] http://breederkoi.com/article/article_detail.asp?cat=5&id=28 [24
April 2011].
Pelczar MJJr, Chan ECS.
1986. Dasar-dasar Mikrobiologi.
Volume 1. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta:
UI-Press. Terjemahan dari: Elements of
Microbiology.
Purwakusuma, W. 2011. Hama Penyakit Ikan [terhubung
berkala] http://www.o-fish.com/HamaPenyakit/jamur.php [22 April 2011].
Soraya, S.D. 2003. Identifikasi Cendawan Pada Ikan
Gurame (Osphronemous gouramy Lac.) dan Penggunaan Daun Paci-Paci (Leucas
lavandulaefolia) untuk Mengendalikannya (Pendekatan In Vitro).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan pesan dan kesan terbaikmu