11 Maret 2012

Morfologi Fungi

MORFOLOGI FUNGI
Ita Apriani
C14090019

1.1              Latar Belakang
Perkembangan kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah memunculkan pemasalahan berupa penurunan daya dukung kolam atau tambak bagi kehidupan ikan yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbulkan adalah terjadinya serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian yang besar. Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi budidaya dengan berpedoman pada kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang lebih serius.
Timbunan bahan organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air yang baik akan memacu penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang, khususnya algae bloom yang menyebabkan deplesi oksigen dan keracunan pada ikan. Penggunaan desinfektan dan antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah penyakit juga memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan, dengan sifatnya yang tidak spesifik, terkadang tidak hanya mematikan organisme sasaran.

Perlu diketahui bahwa antibiotik tidak hanya spesifik bagi pengendalian serangan penyakit bakteri saja, melainkan juga beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh fungi dan pengetahuan tentang fungi sangat diperlukan. Khamir juga mempunyai manfaat yang menguntungkan misalnya, berperan dalam mengatasi masalah penyakit sebagai penghasil antibiotik dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit, dalam bidang pakan berperan dalam fermentasi pakan yaitu untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan ikan, sedangkan dalam proses bioremediasi  berperan untuk mengatasi masalah lingkungan perairan. Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui morfologi fungi sehingga dapat dimanfaatkan dalam perkembangan kegiatan budidaya perikanan selanjutnya.

1.2              Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengamati morfologi fungi (kapang dan khamir).


I.                   METODOLOGI

1.1              Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 20 Maret 2011 pada pukul 07.00-10.00 WIB. Bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budi Daya Perairan, Institut Pertanian Bogor.

1.2              Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikun ini adalah gelas objek, gelas penutup, mikroskop, jarum inokulum dan bunsen. Sedangkan bahan yang digunakan adalah biakan murni khamir, akuades steril, larutan biru metilin, dan alkohol 70%.

1.3              Prosedur Kerja
Gelas objek dan gelas penutup dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70%. Pada bagian tengah objek gelas diberi 1 tetes larutan biru metilin. Kemudia suspensi khamir diambil dengan menggunaka ose dan dicampurkan dengan zat warna tadi hingga rata. Lalu gelas objek ditutup dengan gelas penutup dan diusahakan tidak terbentu gelembung udara. Kemudian diamati dan digambar bentuk sel yang tampak di bawah mikroskop. Sel yang transparan berarti masih hidup dan yang berwarna biru berarti sel yang sudah mati. Kemudian dilakukan perhitungan dengan mengambil 10 lapang pandang, kemudian dihitung persentase sel khamir yang mati (A) dari sel-sel yang hidup (B), dengan menggunakan rumus:


I.                   HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1              Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai perikut :
Tabel 1. Hasil pengamatan
Umur khamir
Kelompok
 Sel Mati  (%)
1 hari
7
72,58

8
66,03
9
97,03
10
83,78
11
30,79
12
60, 59
3 hari
7
75,56

8
97,82
9
96,28
10
98,20
11
52,46
12
30, 37
6 hari
7
58,38

8
99,87
9
100
10
100
11
70,76
12
40,36

Berdasarkan tabel 1 diatas, secara umum jumlah sel mati pada hari ke-6 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sel mati pada hari ke-3, dan jumlah sel mati fungi pada hari ke-1 lebih sedikit dari keduanya.

1.2              Pembahasan
Fungi merupakan mikroorganisme yang tidak memiliki klorofil dan hidup secara heterotrof dengan menguraikan bahan-bahan organik yang ada dilingkungannya dan menyerapnya untuk mendapatkan nutrient. Seperti yang telah diketahui bahwa fungi dikelompokkan menjadi 2 yaitu kapang dan khamir, kapang merupakan fungi yang bersifat multiseluler dan menghasilkan miselium. Sedangkan khamir merupakan fungi yang bersifat uniseluler dan tidak menghasilkan miselium.
Kapang merupakan jenis jamur multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah bahan – bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Di bawah mikroskop dapat dilihat bahwa morfologi kapang terdiri dari benang yang disebut hifa, kumpulan hifa ini dikenal sebagai miselium. Kapang merupakan mikroba dengan struktur talus berupa benang-benang (hifa) yang terjalin seperti jala (myselium). Hifa dapat berekat (septat) dengan inti tunggal/ lebih dan hifa tidak bersekat (aseptat). Penampakan morfologi koloni pada umumnya seperti benang (filamentous) yang pertumbuhannya membentuk lingkaran. Morfologi koloninya dapat dengan mudah dibedakan dengan bakteri walaupun ada beberapa jenis bakteri yang koloninya mirip jamur, seperti dari kelompok Actinomycetes atau Bacillus mycoides. Koloni kapang memiliki keragaman warna yang muncul dari sporanya. Kapang tersebut mudah dijumpai pada bagian-bagian ruangan yang lembab, seperti langit-langit bekas bocor, dinding yang dirembesi air, atau pada perabotan lembab yang jarang terkena sinar matahari. Kapang melakukan reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora aseksual dihasilkan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan spora seksual. Spora aseksual memiliki ukuran yang kecil (diameter 1 – 10 μm) dan ringan, sehingga penyebarannya umumnya secara pasif menggunakan aliran udara (Anonim, 2010).
Khamir merupakan jenis jamur uniseluler. Istilah khamir umumnya digunakan untuk bentuk-bentuk yang menyerupai jamur dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi uniseluler berbentuk ovoid atau spheroid. Bentuk morfologi khamir dapat sperikal sampai ovoid, kadang dapat membentuk miselium semu. Ukuran juga bervariasi. Struktur yang dapat diamati meliputi dinding sel, sitoplasma, vakuol air, globula lemak dan granula. Kebanyakan khamir melakukan reproduksi secara aseksual melalui pembentukan tunas secara multilateral ataupun polar. Reproduksi secara seksual menghasilkan askospora melalui konjugasi dua sel atau konjugasi dua askospora yang menghasilkan sel anakan kecil. Jumlah spora dalam askus bervariasi tergantung macam khamirnya. Yeast atau khamir merupakan fungi mikroskopik uniseluler, tidak membentuk hifa (beberapa spesies dapat membentuk pseudohifa). Bentuk selnya bervariasi dapat berbentuk bulat, bulat telur, bulat memanjang dengan ukuran 1-9x20 μm. Beberapa spesies yeast memiliki sifat dimorfisme yaitu bentuk sel tunggal dan bentuk hifa atau pseudohifa. Pseudohifa adalah hifa yeast yang terbentuk dari rangkaian sel hasil pembelahan aseksual secara budding, tetapi tidak melepaskan diri dari induk. Morfologi internal sel mudah dilihat dan terdiri dari inti dan organel seperti mitkondria, grannula lemak dan glikogen. (Anonim, 2010).
Meskipun sama-sama termasuk dalam kelas cendawa, namun khamir dan kapang memiliki perbedaan. Khamir termasuk dalam kelas Ascomycetes, sedangkan kapang termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes. Perbedaan antara keduanya terletak pada tingkat seksualnya. Khamir sudah diketahui tingkat seksualnya sehingga disebut cendawan sempurna, sedangkan kapang belum diketahui tingkat seksualnya sehingga disebut cendawan tidak sempurna. Selama belum diketahui tingkat seksualnya cendawan digolongkan pada kelas Deuteromycetes (Pelczar & Chan, 1986).
Peran kapang dan khamir juga di butuhkan dalam dunia budidaya. Namun tidak semua fungi menguntungkan, ada beberapa jenis fungi yang merugikan bagi budidaya ikan. Beberapa contoh fungi yang merugikan yaitu Saprolegnia, Branchiomyces demigrans, dan Icthyophonus.
Saprolegnia merupakan genus jamur yang termasuk dalam kelas Oomycetes. Dalam akuarium, jamur ini kerap dipakai sebagai nama umum untuk serangan jamur yang menyerupai kapas pada permukaan tubuh ikan. Pada kenyataannya banyak genus dari Oomycetes yang dapat menyebabkan infeksi jamur pada ikan, diantaranya adalah Achyla. Saprolegnia atau dikenal juga sebagai "water molds" dapat menyerang ikan dan juga telur ikan. Mereka umum dijumpai pada air tawar maupun air payau. Jamur ini dapat tumbuh pada selang suhu 0 - 35 °C, dengan selang pertumbuhan optimal 15 - 30 °C. Pada umumnya, Saprolegnia akan menyerang bagian tubuh ikan yang terluka, dan selanjutnya dapat pula menyebar pada jaringan sehat lainnya. Serangan Saprolegnia biasanya berkaitan dengan kondisi kualitas air yang buruk, seperti sirkulasi air rendah, kadar oksigen terlarut rendah, atau kadar amonia tinggi, dan kadar bahan organik tinggi. Kehadiran Saproglegnia sering pula disertai dengan kahadiran infeksi bakteri Columnaris, atau parasit eksternal lainnya. Kehadiran Saprolegnia biasanya ditandai dengan munculnya "benda" seperti kapas, berwarna putih, terkadang dengan kombinasi kelabu dan coklat, pada kulit, sirip, insang, mata atau telur ikan. Apabila anda sempat melihatnya di bawah mikroskop maka akan tampak jamur ini seperti sebuah pohon yang bercabang-cabang (Purwakusuma, 2011).
Branchiomyces demigrans atau "Gill Rot (busuk insang)" disebabkan oleh jamur Branchiomyces sanguinis dan Branchiomyces demigrans . Spesies jamur ini biasanya dijumpai pada ikan yang mengalami stres lingkungan, seperti pH rendah (5.8 -6.5), kandungan oksigen rendah atau pertumbuhan algae yang berlebih dalam akuarium, Branchiomyces sp.tumbuh pada temperatur 14 - 35°C , pertumbuhan optimal biasanya terjadi pada selang suhu 25 - 31°C. Penyebab utama infeksi biasanya adalah spora jamur yang terbawa air dan kotoran pada dasar akuarium. Branchiomyces sanguinis dan B. demigrans pada umumnya menyerang insang ikan. Ikan yang terjangkit akan menunjukkan gejala bernafas dengan tersengal-sengal dipermukaan air dan malas. Insang tampak mengeras dan berwarna pucat, khususnya pada daerah yang terjangkit. Pengamatan dibawah mikroskop akan sangat membantu mengenali serangan jamur ini. Apabila bagian jaringan yang terserang mati dan lepas, maka spora jamur akan ikut terbebas dan masuk kedalam air sehingga akan memungkinkan untuk menyerang ikan lainnya (Purwakusuma, 2011).
Icthyophonus disebabkan oleh jamur Icthyophonus hoferi. Jamur ini tumbuh baik pada air tawar maupun air asin (laut). Meskipun demikian, biasanya serangan jamur ini hanya akan terjadi pada air dingin 2 - 20° C. Penyebaran Icthyophonus berlangsung melalu kista yang terbawa kotoran ikan atau akibat kanibalisme terhadap ikan yang terjangkit. Sebaran penyakit biasanya berlangsung melalui pencernaan, yaitu melalui spora yang termakan. Oleh karena itu, ikan yang terserang ringan sampai sedang biasanya tidak menunjukkan gejala penyakit. Pada kasus serangan berat, kulit ikan tampak berubah kasar seperti amplas. Hal ini disebabkan terjadinya infeksi dibagian bawah kulit dan jaringan otot. Ikan dapat pula menunjukkan gejala pembengkokan tulang. Bagian dalam ikan akan pada umumnya tampak membengkak disertai dengan luka-luka berwarna kelabu-putih (Purwakusuma, 2011).
Disamping merugikan, beberapa jenis fungi juga menguntungkan bagi budidaya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Saccaromices cerevicae mampu meningkatkan tingkat kekebalan juvenil udang penaeid sehingga pertumbuhan dan sintasan yang diperoleh lebih baik (Laranja, 2007). Dengan Spirulina sp terbukti berperan sebagai imunostimulan pada udang dan ikan patin. Dicampur pada pakan ikan dapat meningkatkan absorpsi kromium pada ikan dan sebagai sumber protein sel tunggal karena kandungan proteinnya yang tinggi.
Aspergillus oryzae sebagai probiotik dalam akuakultur, karena dapat meningkatkan kadar protein, meningkatkan kadar peptida ukuran kecil (kurang dari 20 kDa) dan menghilangkan penghambat tripsin pada kedele.  Kedele disini digunakan sebagai pengganti tepung ikan yang mahal pada industri akuakultur.
Antibiotika adalah karakteristik bahan kimia yang pertama kali ditemukan oleh Alexander Flaming (1928) di dalam fungi /jamur Peniciline , satu dekade kemudian bahan kimia ini dibiakkan secara sistemik oleh Florey dari Penicilium notatum meskipun pada saat itu hasilnya kurang memuaskan, akan tetapi kemudian pada Penicilium chrysogenum sp ternyata dapat menghasilkan bahan kimia yang memiliki sifat membunuh jasad renik lainnya tersebut jauh lebih banyak, sehingga spesimen ini sering dibiakkan. Peniciline adalah Anti biotik yang digunakan dalam pengobatan pada akhirnya dapat diproduksi di dalam laboratorium (Adji, 2008).
Berdasarkan hasil praktikum, kelompok XI menunjukan persentase jumlah sel mati pada hari ke-6 lebih banyak yaitu sebesar 70,26% dibandingkan dengan persentase jumlah sel mati pada hari ke-3 yaitu sebesar 52,46%, dan persentase jumlah sel mati fungi pada hari ke-1 lebih sedikit dari keduanya yaitu hanya mencapai 30,37%. Ada kalanya setelah fase stasioner (penambahan dengan pengurangan jumlah khamir hampir sama)  jumlah khamir menurun. Hal ini karena habisnya nutrisi dalam media. Khamir juga menghasilkan metabolisme skunder yang hasilnya menjadi toxik untuk khamir lainnya. Dalam pertumbuhannya setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi yang mencukupi serta kondisi lingkungan yang mendukung demi proses pertumbuhan tersebut, termasuk juga fungi. Menurut Darkuni (2001) dalam Soraya (2003) pertumbuhan fungi pada umumnya akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh faktor ini akan memberikan gambaran yang memperlihatkan peningkatan jumlah sel yang berbeda dan pada akhirnya memberikan gambaran pula terhadap kurva pertumbuhannya. Sedangkan menururt Tarigan (1988) dalam Soraya (2003) kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: kebutuhan fisik dan kebutuhan kimiawi. Aspek-aspek fisik dapat mencakup suhu, pH dan tekanan osmotik. Sedangkan kebutuhan kimiawi meliputi air, sumber karbon, nitrogen oksigen, mineral-mineral dan faktor penumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Soraya (2003) bahwa terdapat beberapa faktor abiotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, antara lain: suhu, kelembapan, cahaya, pH, nutrisi. Apabila dfaktor-faktor abiotik tersebut memenuhi syarat, sehingga optimum untuk pertumbuhan mikroba, maka mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak.
Dalam praktikum ini juga digunakan larutan metyilene blue. Metil biru merupakan pewarna thiazine yang kerap digunakan sebagai bakterisida dan fungsida pada (O-FISH, 2010). Apabila terlalu lama perendaman menggunakan biru metilin ini akan membunuh sel khamir yang masih hidup karena larutan ini bersifat racun sehingga ketika di amati dengan mikroskop akan banyak sel yang berwarna biru yang menandakan sel tersebut sedaah mati.

I.                   KESIMPULAN DAN SARAN

1.1              Kesimpulan
Fungi dikelompokkan menjadi 2 yaitu kapang dan khamir, kapang merupakan fungi yang bersifat multiseluler dan menghasilkan miselium. Sedangkan khamir merupakan fungi yang bersifat uniseluler dan tidak menghasilkan miselium. jumlah sel mati khamir pada hari ke-6 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sel mati khamir pada hari ke-3, dan jumlah sel mati fungi pada hari ke-1 lebih sedikit dari keduanya hal ini di sebabkan oleh faktor lingkungan dan kandungan nutrien yang terdapat dalam media.

1.2              Saran
sebaiknya fungi (kapang dan khamir) yang di gunakan lebih bervariasi sehingga menambah pengetahuan tentang fungi baik yang merugikan maupun yang menguntungkan sehingga akan bermanfaat bagi pengembangan budidaya selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2010. Pengertian kapang dan khamir [terhubung berkala] http://www.scribd.com/doc/37546226/Pengertian-Kapang-Dan-Khamir  [22 April 2011].

Laranja, J. 2007. Probiotik dalam akuakultur [terhubung berkala] http://akuakultur.wordpress.com/2007/01/22/mekanisme-antagonistik-dari-probiotik/ [22 April 2011].

O-FISH. 2010. Fungsi biru metilen [terhubung berkala] http://breederkoi.com/article/article_detail.asp?cat=5&id=28  [24 April 2011].

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Purwakusuma, W. 2011. Hama Penyakit Ikan [terhubung berkala] http://www.o-fish.com/HamaPenyakit/jamur.php  [22 April 2011].

Soraya, S.D. 2003. Identifikasi Cendawan Pada Ikan Gurame (Osphronemous gouramy Lac.) dan Penggunaan Daun Paci-Paci (Leucas lavandulaefolia) untuk Mengendalikannya (Pendekatan In Vitro).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan pesan dan kesan terbaikmu